1. Pengertian Kesalahan Berbahasa
Dalam bukunyaSafriandi yang berjudul “Common
Error in Language Learning” H.V. George mengemukakan bahwa kesalahan berbahasa
adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan (unwanted form)
khususnya suatu bentuk tuturan yang tidak diinginkan oleh penyusun program dan
guru pengajaran bahasa. Bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan adalah
bentuk-bentuk tuturan yang menyimpang dari kaidah bahasa baku. Hal ini sesuai
dengan pendapat Albert Valdman yang mengatakan bahwa yang pertama-tama harus
dipikirkan sebelum mengadakan pembahasan tentang berbagai pendekatan dan
analisis kesalahan berbahasa adalah menetapkan standar penyimpangan atau
kesalahan. Sebagian besar guru bahasa Indonesia menggunakan kriteria ragam
bahasa baku sebagai standar penyimpangan.
Pengertian kesalahan berbahasa dibahas juga oleh S.
Piet Corder dalam bukunya yang berjudul Introducing Applied Linguistics.
Dikemukakan oleh Corder bahwa yang dimaksud dengan kesalahan berbahasa adalah
pelanggaran terhadap kode berbahasa. Pelanggaran ini bukan hanya bersifat
fisik, melainkan juga merupakan tanda kurang sempurnanya pengetahuan dan
penguasaan terhadap kode. Si pembelajar bahasa belum menginternalisasikan
kaidah bahasa (kedua) yang dipelajarinya. Dikatakan oleh Corder bahwa baik
penutur asli maupun bukan penutur asli sama-sama mempunyai kemugkinan berbuat
kesalahan berbahasa. Berdasarkan berbagai pendapat tentang pengertian kesalahan
berbahasa yang telah disebutkan di atas, dapatlah dikemukakan bahwa kesalahan
berbahasa Indonesia adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan berbagai unit
kebahasaan yang meliputi kata, kalimat, paragraf, yang menyimpang dari sistem
kaidah bahasa Indonesia baku, serta pemakaian ejaan dan tanda baca yang menyimpang
dari sistem ejaan dan tanda baca yang telah ditetapkan sebagaimana dinyatakan
dalam buku Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Adapun sistem kaidah
bahasa Indonesia yang digunakan sebagai standar acuan atau kriteria untuk
menentukan suatu bentuk tuturan salah atau tidak adalah sistem kaidah bahasa
baku. Kodifikasi kaidah bahasa baku dapat kita lihat dalam buku Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia. Karakteristik bahasa baku antara lain adalah sebagai
berikut.
1. Penggunaan konjungsi-konjungsi seperti bahwa, karena secara konsisten dan
eksplisit.
1. Penggunaan partikel kah dan pun secara konsisten.
1. Penggunaan fungsi gramatikal secara eksplisit dan konsisten.
2. Penggunaan meN- dan ber- secara konsisten.
3. Penggunaan pola frase verbal aspek+agen+verba secara konsisten, misalnya Surat ini sudah saya baca. Bandingkan dengan bentuk yang sudah baku Surat ini saya sudah baca.
4. Penggunaan konstruksi yang sintetis, misalnya mobilnya bandingkan dengan bentuk yang tidak baku dia punya mobil, membersiihkan bandingkan dengan bentuk tidak baku bikin bersih, memberi tahu bandingkan dengan bentuk tidak baku kasih tahu.
5. Terbatasnya jumlah unsur leksikal dan gramatikal dari dialek-dialek regional dan bahasa-bahasa daerah yang masih dianggap asing.
6. Pengunaan popularitas tutur sapa yang konsisten, misalnya saya-tuan, saya-saudara.
7. Pengunaan unsur-unsur leksikal yang baku, misalnya
1. Penggunaan partikel kah dan pun secara konsisten.
1. Penggunaan fungsi gramatikal secara eksplisit dan konsisten.
2. Penggunaan meN- dan ber- secara konsisten.
3. Penggunaan pola frase verbal aspek+agen+verba secara konsisten, misalnya Surat ini sudah saya baca. Bandingkan dengan bentuk yang sudah baku Surat ini saya sudah baca.
4. Penggunaan konstruksi yang sintetis, misalnya mobilnya bandingkan dengan bentuk yang tidak baku dia punya mobil, membersiihkan bandingkan dengan bentuk tidak baku bikin bersih, memberi tahu bandingkan dengan bentuk tidak baku kasih tahu.
5. Terbatasnya jumlah unsur leksikal dan gramatikal dari dialek-dialek regional dan bahasa-bahasa daerah yang masih dianggap asing.
6. Pengunaan popularitas tutur sapa yang konsisten, misalnya saya-tuan, saya-saudara.
7. Pengunaan unsur-unsur leksikal yang baku, misalnya
Leksikal baku Leksikal tidak baku
mengapa kenapa
begini gini
berkata bilang
tidak nggak
tetapi tapi
Senin Senen
Rabu Rebo
Kamis Kamis
Jumat Jum’at
Sabtu Saptu
daripada ketimbang
senyampang mumpung
seperti kayak
oleh karena itu makanya
Kesalahan berbahasa tidak sama dengan kekeliruan
berbahasa. Keduanya memang merupakan pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang
menyimpang. Kesalahan berbahasa terjadi secara sistematis kerena belum
dikuasainya sistem kaidah bahasa yang bersangkutan. Kekeliruan berbahasa tidak
terjadi secara sistematis, bukan terjadi karena belum dikuasainya sistem kaidah
bahasa yang bersangkutan, melainkan karena kegagalan merealisasikan sistem
kaidah bahasa yang sebenarnya sudah dikuasai.
Kekeliruan pada umumnya disebabkan oleh faktor
performansi. Keterbatasan dalam mengingat sesuatu atau kelupaan menyebabkan
kekeliruan dalam melaflakan bunyi bahasa, kata, urutan kata, tekanan kata, atau
kalimat, dsb. Kekeliruan ini bersifat acak, artinya dapat terjadi pada berbaga
tataran linguistik. Kekeliruan biasanya dapat diperbaiki sendiri oleh siswa
bila yang bersangkutan, lebih mawas diri, lebih sadar atau memusatkan
perhatian. Siswa sebenarnya telah mengetahui sistem linguistik bahasa yang
digunakan, tetapi karena suatu hal dia lupa akan sistem tersebut. Kelupaan itu
biasanya tidak lama.
Sebaliknya, kesalahan disebabkan oleh faktor
kompetensi, artinya siswa memang belum memahami sistem linguistik bahasa yang
digunakannya. Kesalahan biasanya terjadi secara konsisten dan sistematis.
Kesalahan itu dapat berlangsung lama apabila tidak diperbaiki. Perbaikan
biasanya dilakukan oleh guru, misalnya melalui remedial, latihan, praktik, dsb.
Sering dikatakan bahwa kesalahan merupakan gambaran terhadap pemahaman siswa
akan sistem bahasa yang sedang dipelajari olehnya. Bila tahap pemahaman siswa
tentang sistem bahasa yang sedang dipelajari olehnya ternyata kurang, kesalahan
berbahasa tentu sering terjadi. Namun, kesalahan berbahasa akan berkurang
apabila tahap pemahaman semakin meningkat. Perhatikan tabel berikut ini!
KATEGORI
Sudut pandang
KESALAHAN
KEKELIRUAN
1. Sumber
2. Sifat
3. Durasi
4. Sistem Linguistik
5. Hasil
6. Perbaikan
2. Sifat
3. Durasi
4. Sistem Linguistik
5. Hasil
6. Perbaikan
KompetensiSistematis
Agak Lama
Belum Dikuasai
Penyimpangan
Dibantu oleh guru: latihan, pengajaran remedial
PerformansiTidak Sistematis
PerformansiTidak Sistematis
Sementara
Sudah Dikuasai
Penyimpangan
Siswa Sendiri
Pemusatan Perhatian
2. Proses Terjadinya Kesalahan Berbahasa
Terjadinya kesalahan berbahasa di kalangan siswa
yang sedang belajar bahasa terutama belajarar bahasa kedua, merupakan femnomena
yang mendorong para ahli pengajaran bahasa untuk mempelajari kesalahan
berbahasa. Dari studi tentang kesalahan berbahasa itu dapat diketahui bahwa proses
terjadinya kesalahan berbahasa berhubngan erat dengan proses belajar bahasa.
Kesalahan berbahasa merupakan gejala yang intern dengan proses belajar bahasa.
Oleh karena itu, untuk memahami proses terjadinya kesalahan berbahasa, terutama
di kalangan siswa yang sedang belajar bahasa, diperlukan pemahaman tentang
konsep-konsep belajar bahasa.
Penguasaan bahasa, baik bahasa pertama maupun
bahasa kedua diperoleh melalui proses belajar. Sebagian para ahli pengajaran
bahasa membedakan antara proses penguasaan bahasa pertama dan penguasaan bahasa
kedua. Proses penguasaan bahasa pertama bersifat ilmiah dan disebut pemerolehan
bahasa (language acquisition). Proses penguasaan bahasa perama ini berlangsung
tanpa adanya suatu perencanaan terstruktur. Secara langsung anak-anak
memperoleh bahasanya melalui kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga
dan masyarakat. Setiap ada yang normal secara fisik, psikis, dan sosiologis
pasti mengalami proses pemerolehan bahasa pertama. Proses ini berlangsung tanpa
disadari oleh anak. Anak juga tidaak menyadari motivasi apa yang mendorongnya
berada dalam kondisi pemerolehan bahasa pertama itu.
Selanjutnya, proses penguasaan bahasa kedua
terjadi setelah seseoang menguasai bahasa pertama dan disebut belajar bahasa
(language learning). Proses belajar bahasa kedua pada umumnya berlangsung
secara terstruktur di sekolah melalui perencanaan program kegiatan belajar
mengajar yang sengaja disusun untuk keperluan itu. Dalam proses ini, si
pembelajar menyadari bahwa dia sedang belajar bahasa. Dia juga menyadari
motivasi apa yang mendorongnya untuk menguasai bahasa kedua itu.
Perbedaan antara pemerolehan bahasa (language
acquisition) dan pemerolehan bahasa (language learning) berdasarkan ada atau
tidaknya kesadaran pembelajar terhadap apa yang dilakukan sebenarnya bukanlah
perbedaan yang sangat mendasar dan diskrit. Dalam kenyataannya, baik dalam
proses penguasaan bahasa pertama maupun bahasa kedua, si pembelajar menyadari
usahanya untuk mempelajari bahasa. Perbedaan tingkat perbedaan ini bersifat
relatif saja. Demikian pula perbedaan penguasaan bahasa pertama dan bahasa
kedua yang didasarkan pada terstruktur atau tidaknya proses belajar bahasa juga
tidak selalu benar. Proses belajar bahasa juga bisa berlangsung secara alamiah.
Artinya, si pembelajar belajar langsung bahasa kedua melalui kehidupan
sehari-hari dalam lingkungan masyarakat.
Proses belajar bahasa bersifat kompleks. Proses
ini sangat berkaitan dengan aspek fisik danpsikis pembelajar. Sehubungan dengan
aspek psikis, belajar bahasa adalah suatu proses mental yang di dalamnya berisi
aktivitas psikologis, sedangkan sehubungan dengan aspek fisik, belajar bahasa
berkaitan dengan perkembangan kematangan berbagai orrgan wicara. Proses
terjadinya kesalahan berbahasa berkaitan erat baik dengan aspek psikis maupun
dengan aspek fisik.
Ada dua aliran psikologis yang besar pengaruhnya
terhadap teori belajar bahasa, yaitu psikologi kognitif dan psikologi
behaviorisme. Menurut pandangan ahli psikologi kognitif, jika manusia bersifat
aktif dalam mengakumulasi dan menguasai pengetahuan dan mengorganisasikannya
sehingga merupakan bagian dari keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh
manusia. Dalam belajar bahasa, manusia telah memiliki kapasitas belajar bahasa
yang bersifat innate. Kapasitas itu berada dala struktur psikologis yang
bersifat laten dalam otak manusia. Noam Chomsky menyebut kapasitas belajar
bahasa itu dengan istilah Language Acquisition Device (LAD). Apabila seseorang
belajar bahasa, kapasitas belajar bahasa dalam struktur dalam struktur psikologis
itu akan teraktifkan.
Selanjutnya, untuk memahami proses terjadinya
proses kesalahan berbahasa dalam kaitannya dengan belajar bahasa kedua menurut
psikologi kognitif dapat diikuti pikiran-pikiran yang dikembangkan oleh Larry
Salinker dalam tulisannya yang berjudul interlanguage. Menurut dia, apabila
seseorang belajar bahasa kedua, ia memusatkan perhatiannya terhadap norma
bahasa yang dipelajarinya. Selama membuat seperangkat tuturan dalam bahasa
kedua yang tidak sama dengan tuturan yang diperkirakan dibuat oleh penutur asli
bahasa tersebut untuk menyatakan maksud yang sama dengan apa yang dinyatakan
oleh tuturan si pembelajar. Karena dapat diamati bahwa dua perangkat tuturan
itu tidak sama dapatlah dibuat suatu konstruk yang untuk teori belajar bahasa
kedua. Konstruk itu adalah adanya sistem bahasa yang terpisah yang didasarkan
atas output berwujud tuturan yang dihasilkan oleh si pembelajar dalam berusaha
menghasilkan tuturan yang sesuai dengan norma bahasa kedua yang dipelarinya.
Dengan kata lain apat dikemukakan bahwa selama dalam proses belajar bahasa
kedua, si pembelajar menggunakan seperangkat tuturan dalam bahasa kedua yang
merupakan sistem bahasa tersendiri. Sistem bahasa pembelajar ini disebut oleh
Larry Salinker dengan nama interlanguage (bahasa antara). Istilah lain untuk
menyebut interlanguage adalah ideosyncratic dialect (Piet Corder),
approximative system (William Nemser). Sebagian dari unsur-unsur interlanguage
ini sama dengan unsur bahasa kedua yang dipelajari dan sebagian yang lain tidak
sama. Kesalahan berbahasa terjadi pada sistem interlanguage ini, yaitu
unsur-unsur atau bentuk-bentuk tuturan pada interlanguage yang tiak sama dengan
bentuk-bentuk tuturan pada bahasa kedua yang dipelajari. Secara teoretis,
unsur-unsur sistem interlanguage itu terdiri atas pembauan antara unsur-unsur
bahasa pertama dan bahasa kedua yang sedang dipelajari.
Menurut para ahli psikologi behaviorisme, proses
belajar bahasa adalah proses yang bersifat empiris dalam jalinan hubungan
antara stimulus daan respon. Belajar bahasa itu tdak lain adalah belajar
menguasai suatu jenis kebiasaan. Penguasaan ini akan dapat dicapai dengan
memberikan latihan berulang-ulang berbagai maa pola kaidah bahasa. Oleh karena
itu, pengajaran bahasa berdasarkan aliran behaviorisme ini sangat menekannkan
pentingnya latihan-latihan secara intensif untuk menguasai bahasa. Dalam
pelajaran bahasa, murid-murid “dipaksa” selama berjam-jam mengahafalkan dialog,
laitahan-latihan menguasai pola serta mempelajari semua jenis generalisasi
gramatika. Anggapan yang menopang pentingnya diberikan latihan-latihan pola
serta menghafalkan dialog tersebut dapat kita pahami dalam ungkapan yang
terkenal, yaitu practice makes perfect.
3. Beberapa Pandangan terhadap Kesalahan
Berbahasa
Kesalahan berbahasa adalah suatu peristiwa yang
bersifat inheren dalam setiap pemakaian bahasa baik secara lisan maupun tulis.
Baik orang dewasa yang telah menguasai bahaasanya, anak-anak, maupun orang
asing yang sedang mempelajari suatu bahasa dapat melakukan kesalahan-kesalahan
berbahasa pada waktu mereka menggunakan bahasanya. Namun, jenis serta frekuensi
kesalahan berbahasa pada anak-anak serta orang asing yang seedang mempelajari
suatu bahasa berbeda dengan orang dewasa yang telah menguasai bahasanya.
Perbedaan ini bersumber dari perbedaan penguasaan kaidah-kaidah gramatika
(grammatical competence) yang pada gilirannya jga menimbulkan perbedaan
realisasi pemakaian bahasa yag dilakukannya (performance). Di samping itu,
perbedaan itu juga bersumber dari penguasaan untuk menghasilkan atau menyusun
tuturan yang sesuai dengan konteks komunikasi (comunicative competence) .
Salah satu hambatan dalam proses komunikasi
adalah kurangnya keterampilan berbahasa. Ujud kurangnya keterampilan berbahasa
itu antara lain disebabkan oleh kesalahan-kesalahan berbahasa.
Kesalahan-kesalahan berbahasa ini menyebabkan gangguan terhadap peristiwa
komunikasi, kecuali dalam hal pemakaian bahasa secara khusus seperti dalam
lawak, jenis ilan tertentu, serta dalam puisi. Dalam pemakaian bahasa secara
khusus itu, kadang-kadang kesalahan berbahasa sengaja dibuat atau disadari oleh
penutur untuk mencapa efek tertentu sepeti lucu, menarik perhatian dan
mendorong berpikir lebih intens.
Dalam masyarakat bahasa tertentu, misalnya dalam
masyarakat Jawa, kesalahan-kesalahan berbahasa baik kesalahan gramatika maupun
kesalahan yang berkenaan dengan konteks pemakaian mempengaruhi pandangan orang
lain terhadap status sosial orang yang berbuat kesalahan berbahasa tersebut.
Termasuk kesalahan berbahasa yang berkaitan dengan konteks adalah kesalahan
memilih ragam bahasa yang berkaitan dengan tingkat tutur yang terdapat dalam
bahasa Jawa yang dikenal dengan istilah unggah ungguh. Kesalahan berbahasa
dalam masyarakat Jawa dianggap sebagai noda. Oleh karena itu, dengan sadar setiap
pemakai bahasa berusaha untuk memakai bahasa sesuai dengan kaidah gramatika
serta ketepatan pemilihan ragam tingkat tutur sesuai dengan konteksnya. Dalam
masyarakat Jawa, identifikasi seseorang antara lain dapat dilihat dari
pemakaian bahasanya. Hal ini sesuai dengan tinjauan fungsi bahasa dari
pandangan Sosiolinguistik.
Dalam dunia pengajaran bahasa perhatian terhadap
kesalahan berbahasa baru berkembang selama waktu yang relatif belum lama.
Buku-buku pengajaran bahasa, terutama pengajaran bahasa Inggris, telah banyak
disusun, tetapi hanya sedikit perhatian penulis terhadap kesalahan berbahasa.
Walaupun perhatian terhadap kesalaahan berbahasa belum begitu banyak, tetapi
pikiran-pikiran tentang kaitan antara kesalahan berbahasa dengan proses belajar
bahasa dalam waktu yang relatif singkat telah banyak mengalami perkembangan.
Perkembangan pemikiran yang berkenaan dengan hubungan antara kesalahan
berbahasa dengan proses belajar bahasa tersebut sejalan dengan tumbuhnya
pandangan baru dalam pengajaran bahasa pada umumnya.
Selama dasawarsa lima puluhan dan enam puluhan,
pandangan pendekatan pengajaran bahasa, terutama pengajaran bahasa asing, yang
berkembang pesat adalah pendekatan audiolingual (audiolingual approach).
Pendekatan ini menekankan pentingnya latihan-latihan untuk menguasai bahasa
yang dilaksanakan secara intensif. Dalam pelajaran bahasa, murid-murid dipaksa
selama berjam-jam menghafalkan dialog, latihan-latihan menguasai pola serta,
mempelajari semua generalisasi gramatika. Anggapan dasar yang menopang
pentingnya diberikan latihan-latihan pola serta menghafalkan dialog tersebut
dapat kita pahami dalam ungkapan yang erkenal, yaitu practice makes perfect
(latihan praktik membuat sempurna) yang benar-benar diperhatikan oleh
penganjur-penganjur pendekatan audiolingual. Makna dari ungkapan tersebut erat
dengan pengajaran-pengajaran bahasa menurut pendekatan audiolingual sebagaimana
yan dikemukan oleh Robert Lado dalam bukunya yang berjudul Language Teaching.
Dikemukakan oleh Robert Lado 17 prinsip pengajaran bahasa. Salah satu prinsip
itu adalah pentingnya latihan pola-pola, dan menghafalkan kalimat-kalimat
percakapa dasar dalam model dialog-dialog. Dengan cara itu, kaidah-kaidah
bahasa dalam berbagai pola akan menjelma menjadi kebiasaan dan kalimat-kalimat
dalam berbagai dialog dapat digunakan sebagai model untuk pemakaian bahasa
serta serta belajar bahasa lebih lanjut.
Para pengajur pendekatan audiolingual memandang
kesalahan berbahasa dengan perspektif yang bersifat puritanistis. Nelson
Brooks, misalnya, memandang kesalahan berbahasa sebagai dosa yang harus
dihindari dan pegaruhnya harus dibatasi, tetapi kehadirannya tidak dapat
dielakkan. Dikemukakannya pula metode untuk menghindari terjadi kesalahan dalam
berbahasa adalah dengan melatihkan kepada si pembelajar model-model yang benar
dalam waktu yang cukup lama. Untuk mengatasi kesalahan berbahasa, cara yang
prinsipil adalah memperpendek jarak waktu antara respon yang tidak tepat
(kesalahan berbahasa tersebut) dengan bentuk yang benar.
Pada akhir dasawarsa enam puluhan dan menginjak
dasawarsa tujuh puluhan, dunia pengajaran bahasa megalami perkembangan pesat.
Hal ini ditandai oleh timbulnya pandangan-pandangan yang baru terhadap proses
penguasaan bahasa yang bersumber dari hasil studi ahli-ahli psikologi kognitif
dan gramatika generatif transformasi. Pengajaran bahasa yang bersifat
mekanistis dalam pendekatan audiolingual bergeser ke arah pengajaran bahasa
yang lebih lebih manusiawi serta kurang mekanistis. Kegiatan berbahasa lebih
ditekankan pada pembentukan kemampuan berkomunikasi daripada latihan-latihan
pola dan hafalan dialog. Oleh karena itu, si pelajar lebih didorong
keberaniannya untuk berkomunikasi dengan bahasa yang dipelajarinya. Sebagai
pendukung, perlu diciptakan situasi yang memungkinkan si pelajar bebas dari
ketakutan berbuat salah.
Sehubungan dengan perkembangan yang terakkhir
itu, pandangan terhadap kesalahan berbahasa juga mengalami perubahan. Kesalahan
berbahasa tidak lagi dipandang sebagai dosa, tetapi sebagai hal yang wajar. Hal
ini dapat dilihat dalam kenyataan pada proses penguasaan bahasa pertama pada
anak-anak d mana pun juga. Dalam proses penguasaan bahasa pertama itu,
anak-anak pasti membuat kesalahan berbahasa, teapi kesalahan tersebut diterima
oleh orang tua mereka (orang dewasa di lingkungannya).
Aliran behaviorisme memandang kesalahan berbahasa
sebagai suatu yang semata-mata harus dihindari dan diusahakan menghilangkan
pengaruhnya. Pembelajar bahasa tidak boleh menggunakan kesalahan berbahasa.
Apabila terjadi kesalahan berbahasa, kesalahan itu harus secepatnya diperbaiki
agar tidak menjadi kebiasaan. Apabila suatu kesalahan berbahasa terlanjur
menjadi kebiasaan, perbaikan kesalahan itu akan sangat sulit dilakukan.
Aliran psikologi kognitif memandang kesalahan
berbahasa sebagai suatu yang wajar. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataan pada
proses penguasaan bahasa pertama pada anak-anak di mana pun. Dala proses
penguasaan bahasa pertama itu, anak-anak membuat kesalahan berbahasa, tetapi
kesalahan berbahasa itu diterima oleh orang tua mereka serta orang dewasa di
lingkungannya sebagai suatu yang wajara terjadi.
4. Tujuan dan Manfaat Analisis Kesalahan
Berbahasa
4.1 Tujuan Analisis Kesalahan
Analisis kesalahan merupakan usaha membahas
kebutuhan-kebutuhan praktis guru kelas. Secara tradisional, analisis
kesalalahan bertujuan menganalisis kesalahan-kesalahan berbahasa yang dilakukan
oleh pembelajar bahasa kedua. Hasil analisis ini diharapkan dapat membantu guru
dalam hal menentukan urutan bahan pengajaran, memutuskan pemberian penekanan,
penjelasan dan praktik yang diperlukan, memberikan remidi dan latihan-latihan,
dan memilih butir-butir bahasa kedua untuk keperluan tes profisiensi pembelajar
(Sudiana, 1990:103).
4.2 Tujuan dan Metode Analisis Kesalahan
Menganalisis kesalahan berbahasa yang dibuat oleh
siswa jelas memberikan manfaat tertentu karena pemahaman kesalahan itu
merupakan umpan balik yang sangat berharga pengevaluasian dan perencanaan
penyesuaian materi dan strategi pengajaraan di kelas. Analisis kesalahan
berbahasa antara lain bertujuan untuk:
(1) menentukan urutan penyajian butir-butir yang
diajarkan dalam kelas dan buku teksmisalnya urutan mudah sukar,
(2) menentukan urutan jenjang relatif penekanan,
penjelasan, dan latihan berbagai butir bahan yang diajarkan,
(3) merencanakan latihan dan pengajaran remedial,
(4) memilih butir-butir bagi penngujian kemahiran
siswa (Tarigan, 1990: 69).
5. Data Kebahasaan Analisis Kesalahan Berbahasa
Yang menjadi data utama dalam analisis kesalahan
berbahasa adalah wacana yang dibuat oleh pembelajar, baik secara lisan maupun
tertulis. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik mengambil data
mempengaruhi hasilnya baik jenis kesalahan yang ditemukan maupun urutan
unsur-unsur bahasa yang menjadi titik perhatian analisis. Oleh karena itu,
dalam memilih jenis data untuk diananlisis kita perlu mempertimbangkan
kemungkinan kemungkinan hasil yang akan diperoleh.
Data untuk analis kesalahan berbahasa bisa
diambil dari wacana yang diproduksi oleh pembelajar tanpa alat pemancing dan
pembelajar tidak tahu bahwa wacana yang dibuat olehnya akan dianalisis. Data
jenis ini disebut data spontan (spontaneous data), misalnya percakapan atau
pidatoyang direkam atau karangan tertulis(surat, uraian tentang suatu hal,
makalah, tesis, dsb.). Jenis kedua adalah data pancingan (elicitated data)
yaitu data yang dikumpulkan dari subjek dengan alat pemancing seperti tes,
petunjuk mengarang, dan gambar. Data jenis ini dikumpulkan atau dipancing
karena sengaja akan dianalisis. Data inibisa bervariasi. Hal ini tergantung
pada jenis alat pemancingnya dan titik perhatian subjek ketika melakukan tugas.
Dari segi alat pemancingnya, ada dua jenis data
kesalahan berbahasa, yaitu data tak terstruktur dan data terstruktur. Data tak
terstruktur adalah data yang diperoleh dengan cara menyuruh subjek berbicara
atau mengarang tanpa petunjuk yang ketat. Dalam data itu, jenis kesalahan atau
frekuensi masing-masing unsur kesilapan tidak dikontrol. Kemunculannya dalam
data semata-mata karena kebetulan, tidak menurut kehendak pemancing data. Dalam
data terstruktur, unsur-unsur bahasa yang menjadi fokus perhatian peneliti
direncanakan kemunculannya baik jenis maupun frekuensinya. Misalnya, subjek
diminta menjawab pertanyaan “What are this?” dengan berpedoman pada tiga buah
gambar rumah. Harapan peneliti, subjek akan memunculkan kata houses. Titik
perhatian penelitian adalah plural dalam bahasa Inggris. Bisa pula instrumen
itu berbentuk tes penyempurnaan kalimat atau isian seperti “He…to school every
day (go)”. Jadi, tingkat kestrukturan data itu berbeda-beda.
Selain itu, data dapat dibedakan berdasarkan
besarnya perhatian subje terhadap bentuk (form) (Dulay dkk., 1982). Dalam data
spontan, subjek tidak begitu memperhatikan bentuk wacana. Pusat perhatian
subjek terletak pada isi dan pesan yang disampaikan.Demikian pula data tak
terstruktur yang diambil dengan alat pemancing walaupun mungkin tingkat
perhatian subjek terhadap bentuk sedikit lebih banyak daripada dalam data
spontan. Data seperti ini diambil dengan tugas komunikasi alami (natural
communication task). Dalam data yang diperoleh dengan alat pemancing yang
disertai kontrol ketat terhadap unsur-unsur bahasa yang menjadi titik perhatian
peneliti. Alat pemancing bisa berupa terjemahan, atau isian dan penyempurnaan
kalimat. Alat pemancing itu mendorong subjek cenderung memberikan perhatian
yang banyak terhadap bentuk bahasa. Data seperti ini dikumpulkan dengan tugas
manipulasi linguistik (linguistik manipulation task). Jenis tugas yang
dikerjakan oleh subjek dalam pengumpulan data ini mempengaruhi jenis dan
frekuensi kesilapan. Data yang dikumpulkan secara bebas (data spontan atau data
tak terstruktur) memberi kesempatab banyak kepada subjek untuk menghindari
kesalahan. Subjek dapat mengatakan dengan cara lain bila ditemukan keraguan
terhadap suatu bentuk sehingga frekuensi kesalahan bisa berkurang. Sebaliknya,
data yang dikumpulkan dengan alat pemancing, terlebih-lebih yang ketat
kontrolnya, subjek tidak bisa lagi menghindari bentuk yang meragukan. Oleh
karena itu, subjek sering melakukan kesalahan.
6. Data dan Metode Anakes
Pit Corder mengatakan bahwa anakes pada dasarnya
merupakan cabang linguistik komparatif. Hal ini didasarkan pada data dan metode
anakes. Tugas anakes adalah menjelaskan serta mendeskripsikan sistem lingistik
bahasa siswa dan membandingkannya dengan sistem linguistik B2 yang
dipelajarinya.
Penyimpangan dalam penggunaan bahasa yang sedang
dipelajari oleh siswa, B2 atau bahasa asing disebabkan oleh kesalahandan
kekeliruan. Kekeliruan bersifat sementara, tidak konsisten, dan perbaikannya
dapat dilakukan oleh siswa sendiri. Kesalahan bersifat agak permanen,
sistematis, dan perbaikannya memerlukan bantuan guru. Kesalahan itu sendiri
terbagi atas kesalahan yang tidak jelas terlihat dan kesalahan yang jelas
terlihat. Kedua jenis kesalahan ini tidak semata-mata melukiskan atau
menandakan siswa benar atau salah, tetapi juga menyatakan penggunaan sistem
bahasa yang salah atau benar.
Kekeliruan kurang tepat dijadikan sebagai sumber
data anakes karena sifatnya yang tidak konsisten dan terjadinya hanya
sementara. Oleh karena itu, bila siswa lebih sadar dan mawas diri, kekeliruan
berbahasa tersebut dapat diperbaiki oleh siswa yang bersangkutan. Sumber data
Anakes yang paling cocok adalah kesalahan berbahasa baik kesalahan yang dapat
diamati dengan jelas maupun tidak. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa
kekeliruan tidak fungsional bagi pengajaran bahasa.
Penafsiran secara tepat ujaran siswa merupakan
aspek yang paling rawan dalam penerimaan linguistik siswa. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara merekonstruksi ajaran bahasa secara tepat, menjodohkan
ujaran yang salah dengan pandangannya dalam bahasa ibu siswa. Bila hal itu
dilakukan dengan meminta siswa mengutarakan maksudnya dengan bahasa ibu, cara
ini disebut cara rekonstruksi otoritatif. Apabila karena sesuatu siswa tidak
dapat berkonsultasi dan peneliti hanya menyandarkan pemahamannya kepada maksud
atau sistem linguistik siswa, cara ini disebut rekonstruksi akal sehat.
Bahan-bahan yang terkumpul melalui kedua cara itu
diolah kembali. Hasil pengolahan itu menghasilkan deskripsi linguistik siswa.
Kemudian, deskripsi linguistik itu dilengkapi dengan penjelasan yan bersifat
psikologis, misalnya menjelaskan bagaimana startegi belajar yang digunakan oleh
siswa, bagaimana proses belajar bahasa secara secara umum. Hasil rekonstruksi
linguistik yang digunakan oleh siswa dapat dibandingkan denga sistem linguistik
bahasa sasaran atau bahasa yan dipelajari oleh siswa.
7. Prosedur Analisis Kesalahan Berbahasa
Prosedur analisis kesalahan berbahasa terdiri
atas empat langkah, yaitu identifikasi, deskripsi, penjelasan, dan
kuantifikasi. Tiga langkah pertama saling berkaitan dan langlah terakhir
bersifat statistik.
Identifikasi Kesalahan. Dalam mengidentifikasi
kesalahan berbahasa yang dibuat oleh pembelajar, tidak selalu apa yang terbaca
secara ekspilisit (baik melalui tulisan maupun hasil transkripsi wacana
lisan)menunjukkan kesalalahan. Ada bentuk dalam bahasa antara pembelajaran yang
sempurna, dalam arti sesuai dengan aturan dalam bahasa sasaran, tetapi ternyata
bentuk tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pembicara. Misalnya, seorang
pembelajar mengatakan “My uncle had beautiful houses”. Bentuk ini sempurna,
betul, tidak ada penyimpangan ejaan atau gramatika. Namun, ketikan lihat
konteks pembicaraan, yang sebenarnya dimaksudkan adalah “Paman saya mempunyai
sebuah rumah yang bagus”. Dia tidak bermaksud mengatakan bahwa pamannya
mempunyai banyak rumah. Boleh jadi dia tidak ingat bentuk-bentuk jamak dan
tunggal untuk kata yang berarti rumah. Pikirannya kacau pla dengan adanya
penjamakan yang tidak teratur seperti houses dan children. Dalam keraguan ini,
dia memilih salah satu bentuk dan kebetulan benar secara gramatikal walaupun
secara semantik tidak.
Jadi, pada tahap identifikasi kesalahan, yang
penting adalah melakukan interpretasi terhadap yang dimaksud oleh pembelajar.
Interpretasi itu dapat dilakukan dengan melihat konteks munculnya wacana itu
atau dengan melakukan dialog dengan pembelajar. Konteks itu dapat pula dilihat
secara kecil yang meliputi sebagian dari kalimat-kalimat yang mendahului atau
mengikuti kalimat atau frasa yang sedang dianalisis itu, atau dengan melihat
isi keseluruhan wacana itu. Bisa jadi dalam kasus pembelajar yang belum
menguasai suatu struktur dengan sempurna itu menguji hipotesisnya (tentang
bentuk yang betul). Dari sekian ujiannya itu, satu bentuk benar dan
bentuk-bentuk yang lain salah.
Deskripsi Kesalahan. Kegiatan utama dalam
melaukan deskripsi kesalahan adalah membandingkan wacana pembelajar dengan
rekonstruksi yang sahih. Pada tahap ini, langkah yang diikuti mirip dengan
analisis kontarstif. Dari perbandingan kedua bentuk itu (bentuk dari bahasa
anatara pembelajar dan bentuk yang sempurna dalam bahasa sasaran yang dimaksud
pembelajar dapat ditemukan pola-pola kesilapan.
Tujuan utama langkah ini adalah memberikan
keterangna tentang kesilapan itu s ecara linguistik. Oleh karena itu, dalam
membuat perbandingan dan deskripsi, perlulah diterapkan suatu model tata bahasa
tertentu yang dipakai membuat deskripsi itu, misalnya Tata Bahasa Struktural
atau Tata Bahasa Transformasi Generatif. Adapun pola-pola kesalahan itu dapat
diklasifikasikan menurut tataran dan jenis perubahan dari bentuk dalam bahasa
sumber ke bahasa sasaran. Tataran bahasa bisa meliputi fonologi, morfologi, dan
sintaksis.
Penjelasan Kesalahan. Tahap deskripsi kesalahan
menekankan proses kesalahan dari segi linguistik, se dangkan tahap penjelasan
memeberikan deskripsi tentang mengapa kesilapan itu terjadi dan bagaimana bisa
terjadi. Dengan kata lain, pada tahap ini kita mencari sumber kesalahan itu dan
proses terjadinya kesalahan dari sumbernya sampai dengan kemunculannya dalam
bahasa sumber.
Kuantifikasi Kesalahan. Kuantifikasi kesalahan
dilakukan dengan menghitung kemunculan masing-masing kesalahan berbahasa dan
kemudian bisa pula dihitung persentase kesalahan berbahasa itu. Langkah
terakhir ini tidak wajib dikerjakan, tetapi diperlukan dalam menarik kesimpulan
dalam melakukan perbandingan. Perbandingan dapat dilakukan antara frekuensi
jenis kesalahan dalam satu kasus (sampel) atau membandingkan dengan sampel
lain. Oleh karena itu, langkah ini berkaitan erat dengan langkah deskripsi
kesalahan.
Ada
pakar pengajaran bahasa mengemukan bahwa Anakes mempunyai langkah-langkah yang
meliputi:
(1) pengumpulan data,
(2) pengidentifikasian kesalahan,
(3) penjelasan kesalahan,
(4) pengklasifikasian kesalahan,
(5) pengevaluasian kesalahan.
8. Jenis Kesalahan Berbahasa
Berdasarkan komponen bahasa, kesalahan berbahasa
dikomponenkan menjadi:
(a) kesalahan pada tataran fonologi,
(b) kesalahan pada tataran morfologi,
(c) kesalahan pada tataran sintaksis,
(d) kesalahan pada tataran semantik,
(e) kesalahan pada tataran leksikal,
(f) kesalahan pada tataran wacana
0 komentar:
Post a Comment