1.
Pendahuluan
Pembelajaran (learning) bahasa harus dibedakan dengan pemerolehan (acquiring) bahasa. Jika pemerolehan
bahasa terjadi secara tidak disengaja, maka pembelajaran bahasa diperoleh
dengan sengaja. Jika pemerolehan bahasa terjadi karena kehendak kuat untuk
menjadi bagian (bersoialisasi dengan) atau kehendak kuat untuk dianggap sebagai
warga pemilik bahasa itu, maka pembelajaran bahasa terjadi karena "keinginan"
untuk mengenali kehidupan orang-orang yang mempergunakan bahasa itu. Jika
pemerolehan bahasa terjadi secara tidak
direncanakan, dirancang, disistematisasikan, maka pembelajaran bahasa terjadi
karena pihak lain merancangnya tahap demi tahap, bahan demi bahan, tujuan demi
tujuan. Rancangan dari pihak lain dapat saja wujud konkretnya menjadi suatu
modul atau program pembelajaran, yang tanpa bantuan orang lain--tanpa guru--
dapat dikuasainya. Jika pemerolehan bahasa terjadi melalui intake (bahan bahasa yang meaningful/contextual/functional),
maka pembelajaran bahasa dapat saja terjadi melalui bahan-bahan bahasa tanpa
konteks.
Karena diketahui hasilnya sangat efektif, maka
cara memperoleh (acquiring) bahasa seperti disebutkan di atas diadopsi ke dalam
pembelajaran (learning) bahasa.
Muncullah karena itu cara pembelajaran kontekstual, di mana materi bahasa dirakit dalam suatu konteks,
dipilih sesuai dengan tingkat keseringan kemunculannya, dan dipilih berdasarkan
konteks fungsional. Itulah sebabnya, pemilihan materi bahasa harus juga
mendasarkan faktor sosiolinguistis dan pragmatis. Faktor sosiaolinguistis
menentukan pilihan-pilihan variasi sosiaolinguistis: siapa mitra bicara, dalam
konteks apa berbicara, saluran apa yang dipilih, tujuan apa yang dicapai. Faktor
pragmatis menentukan pilihan-pilihan variasi kebahasaan berdasarkan tingkat
keresmian komunikasi.
Mempelajari bahasa
berdasarkan ciri-ciri seperti yang terjadi pada pemerolehan bahasa itulah yang
secara khusus disebut mempelajari bahasa dengan pendekatan komunikatif. Tujuan
pokok dari belajar bahasa dengan pendekatan itu adalah dicapainya kemampuan berkomunikasi pada diri pembelajar.
Oleh karena itu, fungsi-fungsi bahasa menjadi pandom (penuntun) pemilihan variasi-variasi bahasa, yang meliputi
variasi ucapan, pilihan kosa kata, pilihan bentuk kata, pilihah frasa, klausa,
jenis kalimat, urutan unsur-unsur kalimat, bahkan pilihan jenis wacana
tertentu. Karena fungsi bahasa harus menuntun pilihan variasi bahasa, maka mau
tidak mau konteks ( wacana) menjadi pandon
penting.
2.
Tujuan Belajar Bahasa Indonesia sebagai
Bahasa Asing
Mempelajari bahasa
Indonesia sebagai bahasa asing (termasuk mempelajari bahasa lain sebagai bahasa asing) memiliki
tujuan, yaitu tercapainya keterampilan berbahasa pada diri si belajar (learner). Ia menjadi dapat berbahasa,
dapat berhubungan dengan masyarakat pemakai bahasa tersebut. Namun demikian,
perlu dibedakan adanya dua jenis tujuan, yaitu umum dan khusus. Jika seseorang
mempelajari bahasa asing semata-mata untuk dapat berkomunikasi keseharian
dengan penutur bahasa itu, maka tujuan yang tercapai adalah tujuan umum.
Tercapainya tujuan umum seperti ini mempersyaratkan tercapainya keterampilan
yang disebut BICS (basic interpersonal
communication skills). Oleh karena itu, tekanan penguasaan adalah bahasa
sehari-hari sehingga dapat dipergunakan untuk kepentingan praktis, misalnya
bagaimana si belajar menyapa, menawar, menolak, mempersilakan,
mengucapkan terima kasih, menyatakan penyesalan, mengajak, meminta izin,
memintakan izin, menyela, menyudahi percakapan, berpamitan, memperkenalkan
diri, memperkenalkan temannya, mengeluh, memuji, memberi dan membalas salam,
berobat, menelepon, pergi ke bank,
dan sebagainya.
Sebaliknya, jika seseorang
ingin mempelajari konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang diungkapkan dalam
bahasa itu, maka tujuan yang tercapai adalah tujuan khusus. Misalnya, ia ingin
mempelajari kepercayaan yang dianut suatu suku bangsa, atau mempelajari
kebudayaan suatu suku bangsa. Tercapainya tujuan seperti ini mempersyaratkan
tercapainya keterampilan yang disebut CALP (cognitive/academic
language proficiency).
Tentu saja, bahan yang
diajarkan untuk dua jenis tujuan itu berbeda meskipun pendekatan yang
dipergunakan sama; bahkan ciri-ciri kebahasaan bahasa Indonesia yang diajarkan
juga berbeda. Soewandi (1993) menyingkat ciri khas bahasa untuk tujuan
tercapainya BICS menjadi lima kecenderungan: (1) dipergunakannya bentuk- bentuk
kata yang tidak formal, (2) dipergunakannya kosa kata tidak baku, (3)
dihilangkannya imbuhan-imbuhan kata (afiks) dan kata-kata tugas yang tidak
menimbulkan salah tafsir, (4) penulisan yang tidak baku, dan (5) dipakainya
susunan kalimat yang sederhana dan lebih cenderung tidak lengkap. Sebaliknya,
ciri khas bahasa untuk tujuan tercapainya CALP ada lima kecenderungan, yaitu
ditekankannya penggunaan: (1) bentuk-bentuk kata yang baku, (2) kosa kata
teknis dan baku, (3) imbuhan dan kata-kata tugas secara lengkap, (4)
kaidah-kaidah penulisan, dan (5) susunan kalimat yang baku, lengkap unsurnya,
dan pada umumnya lebih kompleks.
Pembelajar bahasa Indonesia
sebagai bahasa asing dapat memilih salah satu dari kedua tujuan itu meskipun
dapat saja keduanya. Hanya saja, untuk dapat.menguasai CALP, dituntut
dimiliknya BICS lebih dahulu. Mengapa? Karena mereka yang mempelajari bahasa
dengan tujuan CALP pada umunya mereka yang ingin mendalami salah satu aspek
dari kegiatan manusia Indonesia, entah mendalami kebudayaannya, kehidupan
sosialnya, atau politiknya, atau manusianya sebagai paguyupan tertentu
(antropologis). Untuk dapat mencapai tujuan itu, secara metodologis ia harus
menjadi bagian dari kehidupan yang ingin dikenali. Oleh karena itu, mau tidak
mau, penguasaan BICS menjadi penolong yang penting dalam penemuan data yang
diinginkan.Karena pada umumnya pembelajaran bahasa dibedakan menjadi tiga
tingkat--permulaan, tengahan dan lanjutan--kiranya pembelajaran dengan diskusi
hanya cocok diterapkan pada pembelajaran bahasa dengan tujuan tercapainya CALP;
berarti hanya cocok bagi mereka yang sudah ada di tingkat lanjutan.
Judul makalah itu mengacu,
tentu saja, pada tercapainya tujuan belajar bahasa pada tingkat CALP. Mengapa?
Karena belajar dengan diskusi mengandaikan "penguasaan bahasa" sudah
terpenuhi. Pada tingkat CALP ini, pada
umumnya kursus-kursus bahasa Indonesia bagi orang asing menuntut tercapainya
profil kompetensi : (1) mampu berbicara tentang topik-topik tertentu sesuai
dengan bidang minatnya dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar; (2) mampu
mendengarkan pembicaraan dalam seminar, mendengarkan berita-berita dari radio
dan televisi; (3) mampu membaca teks-teks asli (di majalah, atau surat kabar,
terutama untuk memahami ide-ide yang ada di dalamnya), dan (4) mampu
mengungkapkan gagasannya secara tertulis dalam bentuk karangan ilmiah. Jika
pembelajaran pada tingkat BICS si belajar masih lebih berkutat pada penguasaan
bahasa sebagai bekalnya, maka tekanan pembelajaran pada tingkat CALP
lebih-lebih pada bagaimana dengan bekal bahasanya itu ia dapat memahami dan
mengungkapkan idenya kepada mitra diskusi. Ini tidak berarti bahwa bekal
bahasanya sudah dikuasainya secara sempurna. Si belajar masih tetap mempelajari
bahasanya, tetapi boleh dikatakan sudah pada tingkat
"menyempurnakan/memperbaiki".
3.
Diskusi sebagai Salah Satu Bentuk
Pembelajaran Bahasa Asing
Istilah diskusi di sini
berupa suatu konstruk yang oleh penulis diisi pengertian yang sedikit berbeda
dengan istilah diskusi dalam kaitannya dengan debat, dan diskusi dalam
kaitannya dengan bentuk pembelajaran pada umumnya. Pengertian umum diskusi
adalah membicarakan suatu masalah oleh para peserta diskusi dengan tujuan untuk
menemukan pemecahan yang paling baik berdasarkan berbagai masukan. Sebaliknya,
debat adalah pembicaraan tentang suatu masalah dengan tujuan untuk memenangkan
atau mempertahankan pendapat yang dimiliki oleh peserta debat. Sangat mungkin,
pendapat yang dimenangkan bukan yang terbaik.
Diskusi sebagai suatu
bentuk pembelajaran umum adalah suatu cara pembelajaran di mana peserta didik
(murid, mahasiswa) mendiskusikan (membicarakan, mencari jawaban bersama) dengan
cara saling memberikan pendapatnya, kemudian disaring untuk ditemukan
kesimpulan. Tentu saja persyaratan terjadinya pembelajaran dengan diskusi
adalah bahwa bahasa benar-benar sudah sangat dikuasai oleh peserta didik. Guru tidak lagi memberikan perhatian pada
bahasa, melainkan pada isi atau materi diskusi.
Diskusi di dalam makalah
ini diberi pengertian sebagai bentuk pembelajaran bahasa asing, di mana para
peserta diskusi mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah (topik).
Seseorang mempersiapkan pendapatnya secara tertulis dalam bentuk karangan
pendek, kemudian disajikan di kelas. Yang lain memberikan tanggapan secara
lesan. Kebenaran pendapat yang disampaikan, baik oleh penyaji makalah maupun
teman-temannya, memang perlu
diperhatikan, tetapi yang lebih ditekankan adalah bahasa yang dipergunakan
benar atau tidak. Di samping itu, kesimpulan pendapat tidak perlu dituntut.
Maka, tugas guru (instruktur) lebih pada merekam (mencatat) kesalahan-kesalahan
bahasa apa saja yang dibuat oleh peserta diskusi.
Konteks diskusi di dalam
makalah ini mirip dengan apa yang terjadi pada pelaksanaan perkuliahan seminar
bahasa dan sastra, atau perkuliahan seminar pengajaran bahasa dan sastra di
program studi atau jurusan bahasa dan sastra. Dalam pelaksanaan perkuliahan
jenis ini, di samping diperhatikan tercapainya kompetensi sebagai pemakalah
dalam menulis makalah, menyajikan makalah, menjawab pertanyaan; dan tercapainya
kompetensi sebagai pemandu, penambat, dan pembahas tertunjuk, juga masih
diperhatikan bagaimana pembahasaan (cara mengungkapkan dengan bahasa)
dalam makalah, bagaimana pemakaian bahasa dalam bertanya jawab, dan menuliskan
tambatan.
Pembelajaran bahasa asing
dengan diskusi jarang terjadi hanya
dengan satu pertemuan, tanpa didahului
oleh pertemuan-pertemuan pendahuluan. Mengapa? Karena untuk dapat berdiskusi diperlukan
bahan diskusi. Oleh karena itu, sebelum bentuk pembelajaran diskusi dapat
diterapkan perlu ada pembelajaran-pembelajaran dengan bentuk pembelajaran lain
untuk tujuan membekali bahan, baik bahan diskusi maupun bahan bahasanya sebagai
alat diskusi. Menurut pengalaman, dalam suatu kursus bahasa---berarti terjadi
secara terencana, dari pertemuan ke pertemuan yang lain--pelaksanaan
pembelajaran bahasa asing dengan diskusi menjadi efektif jika diawali dengan
pertemuan-pertemuan sebelumnya dengan topik-topik yang berhubungan; baru pada
awal pertemuan-pertemuan berikutnya (konkretnya pada awal minggu berikutnya)
dilaksanakan pembelajaran dengan diskusi. Bahan diskusi berupa perpaduan
(ramuan atau olahan) dari topik-topik yang dipelajari pada pertemuan-pertemuan
sebelumnya..
Mengapa bentuk diskusi
cocok untuk pencapaian bahasa tingkat CALP? Menurut pengalaman, belajar bahasa
Indonesia sebagai bahasa asing dengan bentuk diskusi memiliki
keuntungan-keuntungan berikut. Pertama, dengan diskusi, memang materi bahasa
bagi pembelajar "tidak" menjadi fokus perhatian mereka. (Materi
bahasa menjadi perhatian pada waktu persiapan diskusi, yaitu pada waktu
pertemuan-pertemuan pendahuluan). Yang menjadi fokusnya justru bagaimana
pembelajar mengemukakan pendapatnya dengan logika, data, dan gagasannya. Bagi
pembelajar tingkat lanjutan, berarti pada tingkat dicapainya CALP, kemampuan
berbahasa "sudah" mereka miliki. Jadi, rasa takut salah dalam
berbahasa sudah berkurang, atau bahkan dapat dihindari. Kedua, dengan diskusi,
pembelajar "dipaksa" mengemukakan pendapatnya. Keterpaksaan itu justru
mendorong pembelajar--tanpa "takut" salah dalam berbahasa--dengan
sekuat tenaga dan sebanyak yang dimiliki untuk digunakan pada waktu menjadi
pemakalah, atau pembahas, atau pemandu, atau notulis (penambat). Ketiga, semua
keterampilan--mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis--dipelajari.
Keempat, bagi pembelajar lanjut, yang pada umumnya adalah mereka yang duduk di
perguruan tinggi, karena terjadinya transfer
of learning, apa yang pernah diperolehnya--dalam hal ini penguasaan tentang
aturan-aturan membuat makalah, dan sebagainya--dengan mudah dapat dimanfaatkan.
4.
Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa dengan
Diskusi
Dengan memakai pengalaman
mengajar beberapa tahun yang lalu, maka pembelajaran bahasa Indonesia sebagai
bahasa asing dengan diskusi perlu melalui pertemuan-pertemuan pendahuluan
dengan materi diskusi yang saling berkaitan, dan dengan materi bahasa yang
berkelanjutan. Pada pelaksanaan diskusinya sendiri terdapat kegiatan sebagai
berikut. Seseorang ditunjuk menyajikan
apa yang ditulis. Sebelumnya karangan yang disusunnya dibagikan kepada
teman-temannya, dan kepada guru atau instrukturnya.
Karena diskusi di sini
merupakan bentuk pembelajaran dan masih tetap ditekankan pada penyempurnaan
penguasaan bahasa, maka tidak diperlukan pemandu khusus. Instruktur sendiri
yang mengatur jalannya "diskusi", di samping tugasnya yang pokok,
yaitu mencatat--syukur dapat merekam-- kesalahan yang dibuat, baik oleh
pemakalah maupun oleh yang lain, terutama kesalahan pada pemilihan kosa kata,
penulisan kata, pemakaian dan pemilihan bentuk kata, pengucapan kata dan
kalimat, penyusuna kata menjadi kalimat, dan menjadi paragraf.
Kesalahan-kesalahan bahasa yang dibicarakan lebih ditekankan pada
penyimpangannya dari kebakuan bahasa seperti yang diuraikan di muka sebagai
ciri diperolehnya kompetensi CALP. Unsur sosiolinguistis dan pragmatis dari
penggunaan bahasa itu juga perlu diperhatikan. Jika dianggap perlu dapat
ditambahkan cultural notes dan etika
berdiskusi. Tentu saja, karena dalam kursus-kursus bahasa asing terkandung
unsur promosi, instruktur perlu juga bercerita sebagai pelengkap (pengayaan)
terhadap topik-topik itu. (sayang tidak tersimpan satu contoh makalah yang
peserta waktu itu).
Poedjosoedarmo (2001) memberikan data
yang menarik., yang terjadi di Amerika serikat sebagai berikut.
“To attain an advanced level
of competence, for example in the USA, where English is a native language, in
most universities students are required to take a test on English, and it means
a test on writing essay. This is why, books on Essay Writing and Thesaurus are
important for college students. Students need to consult to a dictionary of
synonyms or a thesaurus to make them able to chose the right words in their
essays. In Indonesia, to well known intellectuals also spent a lot of times
publishing their writings before they become famous. Good writing skill seems
to be very important in developing advanced language competence.
5. Penutup
Benang merah gagasan di muka dapat
disampaikan sebagai berikut. Pertama, mempelajari BI sebagai bahasa asing memiliki dua tujuan: umum dan khusus. Kompetensi yang akan diperoleh oleh
keduanya berbeda. Mempelajari BI dengan tujuan umum ingin memperoleh BICS,
sedangkan dengan tujuan khusus ingin memperoleh CALP. Bagi mereka yang
mempelajari BI dengan tujuan khusus, tentu saja, perlu memiliki kompetensi
kebahasaan dalam tingkat BICS juga sebagai sarana untuk, misalnya, memperoleh data. Kedua, Kebahasaan
untuk tingkat BICS cenderung bercirikan sebagai bahasa yang tidak standar,
sebaliknya untuk tingkat CALP bercirikan sebagai bahasa standar. Ketiga,
diskusi sebagai suatu bentuk pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing
tidak sama pengertiannya dengan diskusi sebagai bentuk pembelajaran pada umumnya,
dan tidak sama dengan pengertian dengan istilah diskusi dalam pasangannya
dengan debat. Tujuan yang ingin dicapai terutama adalah tercapainya kompetensi
kebahasaan, lebih-lebih pada tingkat CALP. Oleh karena itu, bentuk pembelajaran
ini kiranya cocok untuk pembelajaran bahasa asing pada tingkat lanjut. Keempat,
karena pembelajaran bahasa tidak terjadi hanya dengan satu pertemuan, melainkan
dari pertemuan yang satu ke pertemuan yang lain dalam periode terttentu, maka
bentuk pembelajaran dengan diskusi hanya mungkin dilaksanakan setlah pembelajar
memperoleh bahan diskusi dan bertambah penguasaan bahasasanya. Oleh karena itu,
seyogyanya pembelajaran dengan diskusi perlu didahului oleh
pembelajaran-pembelajaran dengan bentuk lain dengan materi yang saling berkaitan.
Daftar Pustaka
Poedjosoedarmo, Soepomo.
2001. “Language Teaching Approaches and Advanced Level of Language Competence”.
Makalah dalam Seminar on Language and Culture, Sanata Dharma University, August
25.
Soewandi, A.M. Slamet. 1994. “Pengajaran
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing: Tujuan, Pendekatan, Bahan Pengajaran dan
Pengurutannya”. Makalah pada Konferensi Internasional Pengajaran bahasa
Indonesia bagi Penutur Asing di Universitas Kristen satya Wacana, 20-23
Januari.
0 komentar:
Post a Comment