RUMAH LUMUTAN
( Anwar, S.Pd )
( Anwar, S.Pd )
Malam yang dipaksa untuk melek, sebuah malam yang terjaga tak berpenjaga.
Sederet kehidupan yang ganjil diperagakan segelintir anak ingusan dibalik
dinding-dinding lumutan. Mata mereka polos menembus jeruji-jeruji jendela yang
tak berkaca. Anak-anak itu bebas memperagakan kebebasannya menjangkau
sudut-sudut rumah itu. Rumah itu bagaikan “Disney Land ”
yang juga tak ubahnya seperti “Free Lands Kids” ala Herry Potter, nampak
sebagai taman bermain yang tak bertuan.
Seorang anak yang berwajah kehitam-hitaman, memereh menggaet tulang
punggungnya dari dipan-dipan empuk bermotif pudar oleh peluh. Betapa tidak,
lantaran kehidupan yang tak berkemudi, siang berubah jadi malam dan malam
berubah jadi siang.
Sebuah
pemandangan yang sebenarnya tidak perlu terjadi di tengah-tengah kesibukan kota dalam mengais
kehidupan yang sebenarnya.
Hanya anak itu yang mem iliki
karakter istimewa di antara anak-anak yang lain. Ketika anak itu beradu mulut “
Saya duluan!, “ Saya lebih tua!
Hei, idiot, Saya
duluan karena saya lebih lama di sini! Tidak, bukan…..!
Saya duluan
memegang ini!.
Persetan dengan
konflik yang tak berkelas, anak itu melesat keluar, meluncur walaupun sekedar
menyapa para tetangga. Dia tahu kehidupan di luar rumah cukup berarti.
Rumah lumutan itu sengaja dipermak
menjadi bangunan yang tiada hari tanpa pembenahan. Nampak dari dalam dan dari
luar keadaan bangunan itu sengaja dibuat untuk mengetuk perasaan iba. Memancing
uluran tangan dari orang berduit. Bangunan itu penuh dengan permainan bagaikan
orang berjudi menuju kursi legislatif.
Coba bayangkan, rumah itu tak pernah
sepi dari uluran tangan. Tapi, mengapa rumah itu bagaikan tak berkepala. Saban
hari seseorang berpenampilan elitis dengan mobil mewahya berkunjung ke rumah
lumutan tersebut. Pada saat yang bersamaan seorang yang bertubuh tambun dan
lebam keluar dari rumah tersebut. “Nggak salah pak, bukankah setahun yang lalu
Bapak berjanji untuk membenahi rumah ini? Tapi, kok nggak ada perubahan
sedikitpun? Tanya seseorang yang bersosok elitis tersebut.
Dengan nada agak menanjak seseorang
yang bertubuh tambun yang tidak lain adalah pengurus rumah itu berkilah “ Yang
perlu Bapak tahu adalah orang menyumbang itu berurusan dengan keikhlasan, bukan
mengungkit kembali, itu sudah tidak ikhlas namanya”. Dengan menghela nafas
panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala Bapak yang tidak lain pendonor itu
memanggil beberapa anak untuk diberikan sumbangan dalam beberapa lembar uang.
Melihat hal
tersebut pengurus rumah itu mengangkat suara “Pak! Ini sudah tidak benar! Bapak
menyumbang tidak melalui Saya sebagai penangung jawab!, apa yang ditahu
anak-anak itu dalam mengelola uang, mereka masih ingusan”.
Dengan suara yang datar dan cukup
tenang sang bapak menjawab “Saya hanya ingin memberi dengan ikhlas, saya ingin
mereka langsung menikmatinya. Apapun yang terjadi, pokoknya niat tulus saya
sudah sampai ke tangan mereka. “pokoknya dari dulu saya bertekad ingin membantu
anak yatim”.
*********
Fajar kembali terhampar. Suara
kemenangan mengangkasa menyambut asa menuju dewasa. Seperti biasa malam kembali
dihabiskan hingga terlelap di waktu fajar. Sungguh ironi, anak-anak itu yang
ditopang oleh tulang punggung yang masih ranum siangnya justru dijadikan
sebagai malam. Mereka tidak dapat berdiri tegak menyambut suara kemenangan “
Hayya ‘alal falah”. Baru kali ini aku melihat kehidupan yang benar-benar
terbalik di kota ini, kota “Daeng”. Hal itu bertambah memalukan dan
memilukan karena kehidupan yang diayomi oleh mereka bernama “Panti Asuhan”.
Kehidupan itulah yang kembali mengurai
mimpi impian dan kenyataan. Di rumah lumutan ini anak-anak hidup tanpa beban,
kecuali tuntutan perut. Yang satu ini memang pernah menjadi momok ketika
seorang anak melesat ke rumah tetangga hanya karena garam dapur. Mungkin karena
ini pula anak-anak menjadi liar, seliar rusa yang kembali ke hutan. Lagi-lagi
mungkin ada benarnya karena banyak anak yang minggat akhirnya dijemput orang
tua mereka. Orang pun berseloroh “katanya panti asuhan”. Selang berapa hari
setelah itu lalu datang lagi orang tua yang mengaku sebagai inang mereka. Para tetangga pun kembali menjadi bingung. Akhirnya
beberapa dari mereka berujar “bagaimana mau sekolah, kebutuhan perut saja senin
kamis, dikira panti ternyata gudang manusia”, ha.ha.ha…….
Ditulis di Makassar,
16 Juli 2009
Suatu kritik sosial
0 komentar:
Post a Comment